Mantan Bintang NBA Michael Ray Richardson Tutup Usia. Dunia basket Amerika berduka mendalam pada 11 November 2025, ketika Michael Ray Richardson, mantan bintang NBA yang penuh warna, tutup usia di usia 70 tahun di Lawton, Oklahoma. Kematiannya akibat komplikasi kanker prostat ini menutup perjalanan hidup seorang pria yang pernah jadi mimpi buruk bagi lawan di lapangan, tapi juga korban dari badai pribadi yang ganas. Dikenal dengan julukan Sugar Ray karena gaya bermainnya yang lincah dan cerdas seperti petinju legendaris, Richardson adalah empat kali All-Star yang memimpin liga dalam pencurian bola. Dari gemerlap New York hingga ketenangan preria Oklahoma, ceritanya adalah kisah bakat brilian yang terganjal kecanduan, diikuti penebusan diri yang tulus. Kepergiannya ini menggema di hati pecinta olahraga, mengingatkan bahwa di balik sorotan, ada perjuangan manusiawi yang tak tergantikan. BERITA VOLI
Karier Gemilang di Awal yang Penuh Janji: Mantan Bintang NBA Michael Ray Richardson Tutup Usia
Michael Ray Richardson memulai petualangannya di liga profesional dengan langkah tegas, lahir di Denver pada 1955 dari keluarga sederhana yang mencintai olahraga. Setelah bersinar di University of Montana, ia terpilih sebagai pilihan keseluruhan keempat di draft 1978, langsung bergabung dengan tim New York. Dengan tinggi 6 kaki 5 inci dan kemampuan bertahan luar biasa, Richardson cepat jadi andalan: rata-rata tiga steal per pertandingan, rekor liga saat itu yang buat lawan selalu gelisah. Ia bermain dengan gaya flamboyan—cepat membaca permainan, pintar mendistribusikan bola, dan selalu sisipkan senyum lebar setelah mematahkan serangan musuh, seolah lapangan adalah panggung hiburan pribadinya.
Puncak karirnya tiba saat pindah ke tim New Jersey pada musim 1984-85. Di sana, ia sumbang 20,1 poin, 8,2 assist, dan 5,6 rebound per laga, bawa tim ke playoff setelah absen lama. Empat kali masuk All-Star, Richardson adalah pemain serba bisa yang sulit digantikan: mampu jaga penjaga lawan, ciptakan umpan silang presisi, dan cetak poin krusial di momen tegang. Rekan-rekannya kenang ia sebagai penyemangat ruang ganti, sering bercanda ringan untuk cairkan tekanan sebelum laga besar. Tahun-tahun awal itu penuh kemenangan manis—dari pengakuan individu hingga kontribusi tim—jadikan ia idola bagi pemuda yang mimpi menari di atas parket kayu. Di hiruk-pikuk kota besar, bakatnya bersinar terang, tapi tekanan tak terlihat mulai gerogoti fondasinya, siapkan panggung untuk badai yang akan datang.
Badai Kecanduan dan Larangan yang Menghancurkan: Mantan Bintang NBA Michael Ray Richardson Tutup Usia
Tak lama setelah masa jayanya, Richardson terseret pusaran gelap yang rusak banyak karir atlet saat itu. Kokain, yang merajalela di kalangan profesional dengan keterlibatan 40 hingga 75 persen, jadi godaan pertamanya sejak 1978. Antara 1978 dan 1985, ia jalani rehabilitasi lima kali, sering absen latihan atau tampil di bawah performa puncak. Pada 1983, setelah bergabung dengan tim Golden State, ia hilang seminggu penuh, berujung suspensi sementara. Meski sempat bangkit, musim 1985-86 jadi neraka pribadi: ketidakharmonisan di tim buat ia terpuruk, hingga akhirnya periksakan diri ke fasilitas kesehatan.
Pukulan terberat datang Februari 1986, sehari setelah pertandingan di mana ia catat 16 poin dan sembilan assist. Tes positif ketiga untuk zat terlarang jadikan ia atlet pertama yang terima larangan seumur hidup dari otoritas liga. Keputusan itu rasanya seperti akhir segalanya, renggut karir yang sedang mekar dan tinggalkan luka dalam. Richardson sendiri akui, larangan itu justru selamatkan hidupnya—ia hampir kehilangan keluarga, teman dekat, dan kendali atas diri sendiri. Di reruntuhan itu, ia pilih bertahan: pindah ke liga-liga kecil Amerika sebelum jelajah Eropa pada 1988. Hingga usia 46 tahun, ia main di sana, raih gelar juara di Italia, Prancis, dan Kroasia, serta terpilih All-Star tujuh kali. Pengalaman bertahan di negeri asing ajar ia disiplin keras, jauh dari hiruk-pikuk yang pernah hancurkan ia, dan bentuk ia jadi sosok lebih tangguh.
Penebusan di Oklahoma dan Warisan yang Abadi
Tahun 2007 jadi titik balik ketika Richardson pilih Oklahoma sebagai rumah, mulai dengan latih tim Cavalry di liga kontinental Amerika di Oklahoma City. Keputusan itu seperti hembusan angin tenang setelah badai panjang. Di bawah bimbingannya, tim raih gelar pada 2008 dan 2009, sebelum pindah ke Lawton dan ganti nama jadi Lawton-Fort Sill Cavalry, di mana ia pimpin kemenangan lagi pada 2010. Oklahoma, dengan ritme hidup pelan dan komunitas ramah, beri ia ruang bernapas lega. Ia beli rumah kecil di Lawton, temui pasangannya Kimberly yang jalankan usaha kecantikan, dan bangun hari-hari penuh makna: duduk baris depan tonton laga tim lokal, atau gelar kamp basket gratis untuk anak-anak keluarga sulit di berbagai sudut wilayah.
Meski sempat latih di Kanada antara 2011-2014 dan menang kejuaraan pada 2012, Oklahoma tetap jadi magnet pulang. Setiap musim panas sejak 2014, ia adakan program pelatihan untuk komunitas rentan, sering kerja sama dengan sahabat lama Otis Birdsong. Pada 2024, ia rilis otobiografi jujur, ceritakan kegagalan dan kebangkitannya dengan pesan sederhana: “Di balik kegelapan terowongan, cahaya selalu menanti.” Ulang tahun ke-70 pada April 2025 rayakan intim di Phoenix bersama 70 orang terdekat, momen buat ia tikitkan air mata karena syukur. Di Oklahoma, Richardson temukan penebusan hakiki—bukan lagi bintang masa lalu, tapi guru yang bagi hikmah untuk cegah jebakan serupa pada generasi muda. Prairinya yang luas dan ikatan komunitas kuat jadi saksi bisu transformasinya.
Kesimpulan
Kepergian Michael Ray Richardson tinggalkan kekosongan dalam di hati penggemar basket, tapi juga tinggalkan api harapan yang tak pernah padam. Dari legenda lapangan yang terpuruk larangan, hingga mentor penuh kasih di Oklahoma yang bentuk mimpi orang lain, ceritanya bukti kuat bahwa ketangguhan bisa ubah nasib. Di Lawton, di mana ia tutup perjalanan dengan damai di sisi Kimberly, warisannya terus bergema melalui anak-anak yang ia ajar dan kisah-kisah yang ia tinggalkan. Oklahoma bukan hanya akhir, tapi tempat di mana Sugar Ray benar-benar temukan diri. Ia kini istirahat tenang, tapi jejaknya selamanya hiasi ingatan pecinta olahraga sebagai teladan abadi.